BAB.IX
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang No.8 thn 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
A. Kepentingan-kepentingan konsumen
Dalam bab IV (pelita keenam), kebijakan pembangunan lima tahun keenam cukup banyak menyuarakan kepentingan yang ada kaitannya dengan konsumen, misalnya berikut ini :
Menghasilkan barang yang bermutu , peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan .
Peningkatan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan .
Persyaratan minimum bagi perumahan dan pemukiman yang layak, sehat, aman, dan serasi dengan lingkungan .
Perbaikan gizi masyarakat, meningkatkan kualitas hunian dan lingkungan hidup .
Terjangkau oleh daya beli masyarakat luas .
B. Hak-hak dan kewajiban konsumen
Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh produsen atau pelaku usaha, hak-hak tersebut sebagai berikut :
Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang .
Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan barang atau jasa .
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang atau jasa . Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakannya .
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut . Dipihak lain, konsumen juga dibebankan dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap pihak penjual tau pelaku usaha, dimana kewajiban konsumen meliputi :
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan konsumen .Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa . Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati bersama . Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut .
C. Hak dan kewajiban pelaku usaha
Dalam UU No.8 Tahun 1999 diperinci apa saja yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha . Pelaku usaha juga memiliki hak-hak yang harus dihargai dan dihormati oleh konsumen, pemerintah serta masyarakat pada umumnya. Hal ini sejalan dengan asas-asas perlindungan konsumen yang akan dijelaskan sebagai berikut :
Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan .
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas tindakan konsumen yang tidah beritika baik . Hak untuk pemulihan nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperjualbelikan . Hak untuk melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen . Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen berupa pemenuhan kewajiban berikut ini :
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya .
- Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa .
- Melayani konsumen secara tidak diskriminasi .
- Menjamin mutu barang atau jasa yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu barang yang berlaku .
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang tertentu serta memberikan jaminan atau garansi barang yang diperdagangkan .
- Memberi kompensasi ganti rugi apabila baran dn jasa yang diterim tidak sesuai dengan perjanjian.
D. Asas-asas perlindungan konsumen
Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen dirumuskan dalam pasal 2, yang berbunyi : “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta partisipasi hukum. Apabila mencermati asas-asas tersebut tanpa melihat memori penjelasan UU No.8 Tahun 1999 dirasakan tidak lengkap. Penjelasasn tersebut menegaskan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
- Asas manfaat
- Asas keadilan
- Asas keseimbangan
- Asas keamanan dan keselamatan konsumen
- Asas kepastian hokum
E. Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen
Menurut A.Z. Nasution definisi hukum konsumen ialah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen didalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen ialah bagian dari hukum konsumen yang mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Lebih jauh, pengertian perlindungan konsumen dapat kita jumpai dalam pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun 1999, yang merumuskan perlinungan konsumen ialah segala upaya yang menjamin danya kepastin hukum untuk member perlindungan kepada konsumen. Konsumen itu sendiri ialah setiap orang yang memakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
F. Hukum perlindungan konsumen di beberapa Negara
Amerika Serikat telah memberikan spirit terhadap perlindungan konsumen. Sebagaiman ditegaskan oleh Presiden J.F Kenendy pada tahun 1962 di depan siding kongres, bahwa konsumen memiliki 4 hak dasar, yaitu :
1. Hak untuk memilih
2. Hak atas informasi
3. Hak atas keselmatan
4. Hak untuk didengar
Ada 3 undang-undang antitrust federal di Amerika, yaitu : Sherman Act, The Clayton Act, Federal Trade Commision Act.
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor , persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa
b. penggunaan suatu barang dan/atau jasa
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu
b. menyatakan barang dan/ataujasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan
b. tidak menepati janji atau suatu pelayanan dan/atau prestasi
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa
d .tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/ atau jasa
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran ikian yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
BAB.X.
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
A. Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
A. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
B. Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoly
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
C. Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut. Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertical
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar neger
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan :
–Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut.
Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
D. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertical
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
E. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
F. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment